Tuesday, June 19, 2012

He Doesn't Love Me Anymore


Matahari bersinar cerah sekali pagi ini. Secerah hatiku yang sedang berbunga-bunga karena cinta. Hari ini Marcell, teman sekelasku sekaligus 'teman dekatku' mengajakku pergi ke sebuah tempat yang masih dirahasiakan olehnya. Dia bilang ini kejutan. Jadi aku harus bersabar sampai waktunya tiba.
Oh iya, kenalkan namaku Sandra. Sandrawina lebih tepatnya. Aku gadis berusia 16 tahun yang sedang duduk di kelas XI SMA. Jangan bayangkan aku adalah gadis cantik idaman laki-laki. Karena jujur penampilanku ini biasa-biasa saja. Tapi kebanyakan orang bilang aku manis seperti putri india. Ahh entahlah aku juga tak tahu menahu seperti apa putri india yang mereka maksud itu. Apakah seorang putri india juga cerewet sepertiku? Haha. Yang jelas aku memiliki rambut pendek, kulitku berwarna kuning langsat dan tinggi badanku sekitar 163 senti. Benar-benar standar bukan.
Sambil menunggu Marcell, aku meraih novel baruku yang baru kemarin dibelikan oleh ibu. Aku baru membaca setengahnya tapi aku sudah merinding sekali mengetahui jalan ceritanya. Novel ini menceritakan nasib mahasiswi bernama Tara yang berubah menjadi psikopat setelah putus dari pacar brengseknya. Aku benar-benar kasihan pada Tara. Tapi detik kemudian aku tersadar, aku terlalu menghayati membaca novel ini. Kenapa aku bisa jadi sebenci ini pada Tora -pacar-Tara-. Bukankah ini tidak nyata, rutukku dalam hati.
Tiba-tiba, aku jadi ingat Marcell. Sudah lewat pukul 16.00 tapi dia belum juga muncul. Kulirik ponsel yang ada di sampingku sejak tadi. Ada pesan masuk.
From: Marcell
Sayang, maaf tiba-tiba ada rapat di sekolahan. Jadi acaranya kita tunda dulu ya. Muah :*
Setelah membaca pesan dari Marcell, perasaan kecewa menyelinap dalam benakku. Aku menghembuskan napas panjang. Sedih rasanya. Tetapi mau bagaimana lagi, Marcell memang orang sibuk. Dia pengurus OSIS angkatan ini.
Perlu diketahui, sekolahku adalah sekolah nomor satu di kotaku. Bahkan bisa dikatakan juga sekolah nomor satu di provinsiku, provinsi Jawa Tengah. Banyak kegiatan diadakan, mulai dari kegiatan skala kecil seperti classmeeting, sampai kegiatan skala heboh seperti kompetisi bola basket tingkat provinsi. Ya, Marcell dan kawan-kawannya di OSIS-lah yang mengurus itu semua.
Kadang aku merasa benci pada proyek-proyek yang diadakan oleh OSIS. Proyek bodoh itu membuat Marcell melupakanku. Yang paling penting, proyek-proyek itu membuat Marcell dekat dengan gadis-gadis cantik penggoda iman laki-laki. Haha. Maksudku, entah disengaja atau tidak pengurus OSIS tahun ini didominasi siswi-siswi cantik. Tidak ada siswi berpenampilan standar sepertiku. Itulah yang kutakutkan. Marcell akan tergoda, dan kemudian ia berpaling dariku. Marcell kan tampan, jadi tak sulit baginya untuk mendapatkan gadis-gadis cantik yang ia mau.
Apalagi mengingat status hubungan kami yang belum jelas pacaran atau tidak. Ya, Marcell memang bukan pacarku. Aku juga bukan pacar Marcell. Tapi aku berusaha memahami dan menerima. Memahami dan menerima keinginannya untuk tidak berpacaran dulu sementara ini. Walaupun julukan cewek ngarep dan gunjingan buruk terus saja diarahkan padaku. Aku percaya padanya semua akan indah pada waktunya.
***
Dua minggu kemudian...
“San, maaf ya. Lagi-lagi aku ada rapat mendadak.” kata Marcell dengan ekspresi tak berdosanya.
“Oh.” jawabku singkat.
Mendengar jawabanku yang ketus, Marcell kemudian bertanya. “Kamu marah?”
“Pikir saja sendiri.” Aku pun pergi ke luar kelas menggandeng Tika sahabatku dengan perasaan dongkol.
Dalam waktu dua minggu, Marcell telah membuat janji denganku berkali-kali. Tetapi berkali-kali pula ia membatalkan janjinya secara tiba-tiba. Bagaimana aku tidak marah? Mungkin kalau baru pertama, kedua, ketiga aku bisa memaklumi. Tapi kali ini entah ke enam, atau bahkan ke sepuluh kalinya ia membatalkan janji. Oh iya, yang membuatku paling kesal adalah kedekatannya dengan pengurus OSIS yang bernama Mega. Akhir-akhir ini Marcell jadi jarang mengirimkan SMS padaku. Selalu saja aku yang mulai terlebih dahulu.
Menurut teman-temanku, Marcell sudah tidak menyayangiku lagi seperti dulu. Aku menggeleng pelan, seakan tidak mau menerima kenyataan itu. Masalahnya tadi malam dia mengatakan bahwa dia masih menyayangiku seperti dulu. Dan aku percaya itu.
“San, masuk kelas yuk.” ajak Tika, sahabatku. Karena terlalu asyik melamun aku jadi lupa, sejak tadi aku ada di dalam toilet dan Tika menungguku di luar. Ahh, dia memang teman yang pengertian dan sabar.
“Jam berapa sih ini?” tanyaku sambil berjalan menuju ke kelas.
“Jam 9 San.” jawab Tika singkat.
Setibanya di kelas, aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Marcell. Pasti dispen, pikirku. Sisa hari ini pun kulewati dengan perasaan campur aduk. Dari siang sampai sore aku menghabiskan waktuku dengan online dan surfing di dunia maya.
Saat aku membuka akun twitterku, aku melihat percakapan Marcell dengan Mega. Mega si cantik jelita. Wow, bahkan mereka punya panggilan akrab. Cing dan ceng. Panggilan macam apa itu. Rasa cemburu pun menyelimutiku. Aku benci Marcell! Kenapa dia tak pernah mengerti apa yang aku rasakan? Berkali-kali aku telah mengatakan aku tak suka sifatnya yang terlalu genit. Tapi apa, dia tetap acuh. Seolah aku tak pernah mengatakan hal itu.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Pesan dari Marcell rupanya.
From: Marcell
Hai Sandra :)
Sungguh aku benci Marcell!!! Kenapa setiap aku kesal, dia datang tepat pada waktunya. Biasanya aku selalu luluh. Tapi entah kenapa kali ini aku tak mau mengalah. Aku tak mau ditindas terus-terusan. Segera kubalas pesannya dengan kata-kata yang cukup ketus.
To: Marcell
Oh, masih inget sama aku?
Tak lama ponselku bergetar lagi. Bukan pesan, ternyata telfon dari Marcell. Dengan ragu aku menekan tombol berwarna hijau di ponselku.
“APA???” tanyaku ketus.
“Kamu marah?” Marcell balik bertanya.
“Iya. Denger ya cell, aku benci kamu. Lebih baik kita bersikap seperti biasa. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita.” aku syok setelah menyadari apa yang baru saja kuucapkan. Bukan, bukan ini maksudku. Aku merutuk dalam hati.
“Baiklah, kamu boleh pergi. Terimakasih buat semuanya. Maaf kalau aku selalu salah di matamu.” Kata-kata Marcell benar-benar menusukku. Baru kali ini Marcell berkata seperti itu. Selama ini dia selalu mempertahankan hubungan kita. Seketus apapun aku, dia tidak pernah begini. Setengah tahun kami menjalani hubungan tanpa status yang penuh cinta dan kasih. Ternyata, ini endingnya? Benar-benar ending yang tidak kuharapkan. Air mata pun jatuh dari pelupuk mataku. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Kumatikan ponselku. Dan aku menangis tersedu-sedu sepanjang malam.
***
Hari demi hari berlalu. Tanpa kusadari, sudah sebulan lebih aku tak berbicara dengan Marcell. Walaupun kami masih berkirim pesan, tapi kalau kami bertemu kami seolah tak mengenal. Bahkan sesekali dia berkata ketus padaku. Benar-benar ironis. Aku sadar, Marcell sudah tak ingin berurusan denganku lagi. Tapi terkadang aku masih iseng mengirimkan pesan untuknya. Yah, memang aku yang selalu memulai terlebih dahulu.
Akhir-akhir ini aku merasa Marcell semakin ketus padaku. Awalnya aku bisa menerima sikap bodohnya ini. Tapi lama kelamaan aku merasa kesal. Walaupun Marcell sudah tidak menyayangiku lagi, bukan begini cara memperlakukan wanita. Selain ketus, dia juga semakin tidak memperdulikan perasaanku. Sifat genitnya semakin menjadi. Berkali-kali aku tak sengaja melihatnya mengobrol berdua dengan gadis cantik. Berkali-kali aku tak sengaja melihat percakapannya dengan si cantik Mega dan sekarang bertambah dengan si cantik Rina di timeline twitterku. Ahh, aku semakin membenci Marcell. Mungkin karena aku masih menyayanginya. Mungkin lebih tepatnya aku tidak membenci Marcell, tetapi aku cemburu pada Marcell. Aku benar-benar rindu pada Marcell yang dulu. Marcell yang selalu baik padaku, Marcell yang selalu memaafkan kesalahanku, Marcell yang charming. Oh Tuhan, tolong bantu aku melupakan perasaan ini. Aku benar-benar tersiksa. Bisakah semua kembali seperti dulu?
Siang ini lagi-lagi aku menangis untuk Marcell. Apakah Marcell juga memikirkanku? Tanyaku dalam hati. ternyata rasa rinduku pada Marcell mengalahkan segala gengsi yang kupunya. Kukirim pesan untuk Marcell, hanya sekedar menyapanya. Beberapa menit kemudian Marcell menjawab pesanku. Aku benar-benar kaget membaca balasan dari Marcell.
“Ya?” Hanya itu. Sungguh.
Sebenarnya emosiku sudah terpancing saat itu. Tapi aku berusaha sabar. Kemudian aku pun membalas pesannya.
“Gitu aja?” balasku.
“Hemm salah lagi, ada apa?” Kali ini setelah membaca balasan dari Marcell aku tak bisa lagi menahan emosiku. Segera kubalas pesan Marcell dengan penuh emosi.
“Kenapa sih ketus banget??? Gak bisa lebih ramah ya???” balasku.
Tanpa menunggu lama, aku menerima pesan balasan dari Marcell. “Gak.”
“Bukan maksud apa-apa ya Cell, aku cuma mau nyaranin aja. Jadi cowok nggak boleh gitu. Diajak ngomong baik-baik malah diketusin. Dulu aja balesannya baik banget. Sekarang? Bah. Dasar playboy! Habis manis sepah dibuang. Berasa keren ya?” Entah setan apa yang merasuki tubuhku saat ini hingga aku mengirimkan pesan itu. Yang jelas aku benar-benar sakit hati padanya. Aku ingin dia mengetahui hal itu!
Tak kusangka ternyata Marcell lebih sakit hati dari pada aku. Terbukti ketika aku membaca pesan balasan darinya. “Yaudah, terus ngapain kamu masih SMS aku aja? Hah? Masih ngarep aku ya? Cuih! Lo itu udah nurunin harga diri gue sebagai laki!!! Gue gak terima!!! Gue jadi yakin buat sinisin Lo. Selamat malam.”
Asli ini nyesek banget. Kata-kata Marcell benar-benar menguras emosiku. Karena tak tau harus berkata apa, aku pun membalas pesan Marcell dengan sapaan selamat malam.
Setelah membalas pesan Marcell, jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Sure! Entah apa yang kutakutkan, tapi sepertinya aku takut jika bertemu Marcell. Aku takut menghadapi hari-hari setelah ini. Padahal aku dan Marcell masih harus menjadi teman sekelas kurang lebih satu tahun lamanya. Oh Tuhan, bantu aku menjalani hari-hariku setelah ini. Ternyata, inilah ending yang sebenarnya. This is the real ending between Sandra and Marcell. Sebenarnya dalam kasus ini tidak ada yang salah. Karena aku dan Marcell sama-sama salah. Kami sama-sama tidak bisa saling memahami. Kami lebih mementingkan ego kami masing-masing. Jadi aku menganggapnya impas. Aku tidak menyesal pernah mengenal Marcell. Aku juga tidak menyesal pernah menyayangi Marcell. Karena semua ini bagian dari takdirku. Takdir yang diberikan Tuhan kepadaku. Sedikit pelajaran yang bisa kupetik adalah, kita boleh berharap akan suatu hal. Tetapi kita tidak boleh menggantungkan hidup kita hanya pada harapan itu. Karena, kadang kenyataan yang terjadi tidak sama seperti apa yang kita harapkan.
Sedikit pesan untuk kalian para pembaca,di saat kamu merasa dirimu senang, maka tersenyumlah. Di saat kamu sedih, maka menangislah. Di saat kamu ingin marah, maka berteriaklah. Itu semua merupakan bagian dirimu. Karena dengan itu semua, kamu akan tau bahwa kamu benar-benar hidup. Dan sedikit pesan untukmu Marcell, percayalah aku tidak pernah membencimu atau bahkan dendam padamu.
-THE END-

1 comment: