PKL di Industri Farmasi? (Part 1)

Emang S2 ada PKL? Wajib gak?

Yaelah gak wajib? Kalo aku sih mending liburan aja di rumah…

Dibayar berapa?

***

Yaaa kiranya itu adalah pertanyaan-pertanyaan klise yang kudapatkan selama PKL atau magang atau whatever you called and named it, I don’t care. Sebagian paham kenapa aku memutuskan untuk PKL disaat libur semester perkuliahan S2 ini, tapi sebagian menganggap mahasiswa S2 adalah orang-orang berumur yang pastinya sudah berpengalaman jadi gak butuh latihan macam PKL atau magang. Sebagian lagi punya pemikiran, libur ya dipake buat liburan, ngapain capek-capek kerja ga digaji pula. Sebagian sisanya baru tau kalau mahasiswa S2 bisa PKL.

Bulan Juli 2018 kemarin, aku mendapat kesempatan untuk PKL di perusahaan farmasi yang lokasinya ada di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kebetulan bulan Juli itu aku sedang libur akhir semester yang sangaaaaaat panjang, jadi gak cuma sebulan tapi sampe tiga bulan. Sebut nama perusahaannya gak yaaaa? Kayanya gausah disebut nanti kalian juga akan tau sendiri, atau nanti di tengah cerita mungkin aku bakal keceplosan sebutin merknya wkwkwk

Sebenernya apa sih tujuan PKL kemaren? Kenapa harus PKL lagi? Waktu kuliah S1 dulu kan udah pernah? Well, ini ga semata-mata cuma buat ngisi liburan aja teman-teman. Kalo kalian baca di banyak artikel, PKL atau magang merupakan pengalaman yang paling diperhitungkan oleh recruiter, sebanding dengan kerja part time atau freelance tentunya.

Dari dulu aku emang udah tertarik sama yang namanya dunia farmasi, cuma ternyata sama Allah agak dibelokin dikit lah jalannya. Supaya aku bisa kerja di “dunia obat-obatan” (bisa sebagai peneliti obat atau karyawan di suatu perusahaan obat) aku harus punya keahlian yang berkaitan dengan obat. Sayangnya selama kuliah S1 dulu aku belum pernah berurusan dengan obat, yaa mentok-mentok ambil mata kuliah Kimia Obat Tradisional sih. Umumnya ada dua cara yang dilakukan orang-orang untuk mendapatkan keahlian tersebut. Pertama, yaitu dengan ikut PKL, lalu yang kedua, dengan ikut pelatihan.

Dari keduanya, yang paling efektif menurutku adalah dengan ikut PKL. Gimana engga?  PKL biasanya dilaksanakan minimal satu bulan, sedangkan pelatihan paling lama satu atau dua hari, itu aja bayarnya mahal banget ga kira-kira wkwkwk. Meskipun saat PKL aku juga keluar biaya buat makan dan ngekost, tapi hasil yang didapat sebanding. Gak cuma dapet ilmu farmasinya, aku juga bisa tau gimana sih rasanya kerja di industri farmasi, how’s the social life, diskusi bareng karyawan dari staf sampe managernya, ngeliat langsung proses yang berkaitan dengan kegiatan produksinya, dan lain-lain.

Emang dulu waktu S1 PKL di mana? Yep dulu aku PKL di instansi pemerintah, laboratorium bea cukai, atau nama resminya sih Balai Pengujian dan Identifikasi Barang, di Jakarta. Di sana aku belajar banyak tentang instrumen analisis. Yaa karena di sana emang instrumen analisisnya banyak pake banget. Dari sana aku juga tau ternyata kegiatan ekspor impor ga melulu berurusan dengan ekonom-ekonom aja, tapi ahli kimia juga. BPIB tugasnya menganalisis barang ekspor impor, apakah sudah sesuai dengan dokumennya atau belum, yah singkatnya gitu deh. Dari bahan kimia mentah sampe barang jadi kaya pakaian, tas, makanan, minuman, pupuk, biji-bijian diuji semuanya.

Memang banyak ilmu yang aku dapet di BPIB sana, tapi semuanya hanya berkaitan dengan analisis produk. Aku gak ngerti bagaimana produk itu di buat dan apa aja bahan baku yang dipake. Jadi di mana aku bisa tau kalo engga PKL di perusahaannya langsung? Sayang banget waktu S1 aku sama sekali ga kepikiran buat ikut PKL lebih dari satu kali (karena yang satu kali itu wajib dan masuk SKS). Yang aku pikirkan saat itu adalah semua kewajiban kuliahku tuntas dan aku bisa cepet-cepet lulus dari situ. Buat yang masih kuliah S1, tolong dimanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada. Nah karena alasan itulah, dari awal kuliah S2 ini aku memang udah berniat buat ikut PKL atau magang lagi. Ceritanya buat menebus kesalahan waktu S1 dulu.

Salah satu alasan kenapa aku memilih untuk PKL di Semarang adalah karena jaraknya yang ga terlalu jauh dari rumah. Jadi biar bisa pulang seminggu sekali, ga kaya Depok yang jauh sekali ini huhuhu. Hari pertama PKL, aku dijelasin tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sebelum aku PKL di sana, aku kira CPOB adalah sejenis sertifikasi untuk orang per-orangan. Jadi kalo ada orang punya sertifikat CPOB artinya dia adalah ahli pembuat obat. Ternyata, CPOB adalah sejenis peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk pelaku industri farmasi.

Ada 12 elemen dalam CPOB ini, yaa kayanya gaakan aku sebutin semuanya sih. 12 elemen itu antara lain Quality Management System (QMS), Personel atau Human Resource, Premise and Facility, Equipment, Sanitasi dan Hygiene, Produksi, Quality Control, dan lain-lain. QMS berkaitan dengan bagaimana suatu organisasi dalam industri farmasi dapat menghasilkan produk yang baik. Personel atau Human Resource berkaitan dengan personel ahli yang jumlahnya cukup, dalam CPOB juga terdapat ketentuan mengenai key person yang ada di industri farmasi, yaitu kepala dari departemen QA, QC, dan produksi harus berasal dari seorang apoteker atau farmasis ahli.

Premise berkaitan dengan bangunan, kalo facility adalah meja dan kursi yang dipakai. Hmmmm jadi perusahaan farmasi harus mendesain bagunan agar tidak mudah terkontaminasi, mudah dibersihkan, dan tidak dapat dimasuki hama. For your information, di bagian ruang produksi, sudut bagunannya semua dihilangkan. Jadi pojok bangunannya berupa lengkungan gitu deh, semoga kalian bisa membayangkan hahaha.  Kalo ga salah cat-nya juga bukan cat biasa. Cat yang dipake adalah cat berbahan epoksi (kalo ga salah hehe), intinya semua mengacu pada sesuatu yang “mudah dibersihkan”. Kalau sudah punya sertifikat CPOB, baru deh industri farmasi yang bersangkutan diijinkan untuk beroperasi.

Ada hal lain yang baru aku ketahui setelah aku magang, yaitu soal bahan baku. Dulu sebelum aku PKL di industri farmasi, aku punya pemikiran kalau industri farmasi di Indonesia membuat bahan baku sendiri dan kemudian meraciknya. Ternyata hampir semua (sebenernya aku ragu, ini hampir semua atau bahkan semua) industri farmasi di Indonesia membeli bahan baku seperti paracetamol, amoxicillin, simetichone, chlorphenilamin, vitamin-vitamin, dan lain-lain baru kemudian meraciknya. Sebenernya masih banyak hal lain yang ingin kuceritakan tapi pastinya akan sangat panjang karena aku PKL selama satu bulan di sana, dan setiap harinya aku dapet banyak banget ilmu. Bagi yang penasaran di mana sih letak "kimia"-nya PKL di industri farmasi bisa kok baca di postingan selanjutnya (klik). Jadi, kalo ada yang nanya PKL kemaren dibayar berapa? Aku tinggal jawab aja “dibayar dengan ilmu”, terdengar naïf tapi sejatinya ilmu adalah investasi yang tak ternilai harganya. Semoga membantu J  

Baca juga :
- Pengalaman Kuliah Magister Ilmu Kimia di UI