Friday, March 2, 2012

TRADISI AMPYANG MAULID DI LORAM KULON, KECAMATAN JATI


Tradisi ampyang maulid merupakan salah satu bentuk penyebaran agama Islam yang dilakukan Tjie Wie Gwan, suami Ratu Kalinyamat, sekaligus menantu Sunan Kudus dengan menggunakan pendekatan sosial budaya kepada masyarakat Loram Kulon yang waktu itu beragama Hindu-Buddha dan bermata pencaharian sebagai pembuat ampyang. Selain menyebarkan agama Islam, beliau juga meninggalkan beberapa tradisi budaya yang masih dilaksanakan sampai sekarang :
1.      TRADISI NGANTEN MUBENG GEPURO/KIRAB NGANTEN, Di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali. Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu sebagai prosesi ijab qobul. Pada masa itu, karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka Tjie Wie Gwan berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Tradisi yang menjadi ciri khas umat Islam yang tinggal di sekitar Masjid Wali, tidak terlepas dari sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa. Masjid yang terletak sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan, seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak. Seiring berjalannya waktu, Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat), dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di Bali. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging Badar Duwung.
2.      TRADISI SEDEKAH NASI KEPEL, Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.
TRADISI AMPYANG MAULID, Ampyang maulid adalah perayaan yang dilaksanakan masyarakat loram kulon yang digunakan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di masjid loram kulon yang bernuansa islami. Ampyang maulid menjadi salah satu budaya yang dilestarikan sampai sekarna dan diperingati setiap tanggal 12 robiul awal untuk memperoleh berkah. Tradisi Ampyang di desa Loram Kulon memiliki ciri khas dan keunikan yang telah ada sejak zaman Tjie Wie Gwan. Namun pada zaman penjajahan Belanda, dilanjutkan zaman penjajahan jepang tahun 1941-1945 tidak dapat dilaksanakan karena kondisi dan situasi politik yang berakibat krisis panjang mpada masa itu. Menjelang timbulnya gerakan partai komunis Indonesia(PKI) sampai masa akhir G 30 S PKI, tradisi ampyang ini sempat terhenti juga karena situasi politik. Dalam perkembangannya tahun 1995 M tradisi ampyang ini kembali dilaksanakan sebagai syiar agama islam.

TRADISI TEBOKAN


Tradisi tebokan diartikan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga Desa Kaliputu kepada Tuhan atas keberhasilan mereka di bidang usaha jenang. Hingga kini tercatat sekitar 40 orang yang menggantungkan hidupnya dari jenang. Jumlah itu belum termasuk mereka yang kini buka usaha di luar Desa Kaliputu.
Dalam acara tebokan tersebut, anak-anak dengan membawa tebok berisi jenang beserta uba rampe berangkat dari halaman balai desa berjalan keliling desa dengan diiringi rebana.
Usai berkeliling, semua jenang dan jajan pasar yang mereka arak sebelumnya dikumpulkan di balai desa dan di doakan oleh sesepuh desa Kaliputu. Setelah ritual doa usai, semua tebok yang diarak keliling diperebutkan warga. Ada yang mempercayai makanan yang diperebutkan warga itu mengandung berkah.
Dengan diadakannya Tradisi Tebokan, diharapkan pertumbuhan usaha di sentra jenang ini akan semakin meningkat dan semakin dikenal masyarakat luas.

FESTIVAL PATI AYAM


Patiayam adalah situs purbakala yang berada di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kudus. Situs purbakala ini terletak di kawasan perbukitan Patiayam. Beberapa penelitian menemukan batuan dari zaman pleistosen (1,5 juta tahun lalu) yang mengandung fosil rawa-rawa dan verteberata. Di situs ini juga ditemukan fosil manusia purba beserta benda budayanya. Jenis fosil binatang yang ditemukan antara lain, elephentidae, rhinocerotidae, felidae, bovidae dan cervidae. Selain itu juga ditemukan fosil-fosil hewan laut semacam molusca dan kerang purba.
Situs Patiayam terdapat di perbukitan Patiayam, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Kudus. Lokasi dapat ditempuh melalui jalur Kudus-Pati. Pada kilometer 12, berdekatan dengan PT Pura (Pusaka Raya), Anda bisa mengambil arah ke utara memasuki gerbang jalan Desa Terban. Kira-kira Situs Patiayam berada sekitar 1,5 km dari jalan raya Kudus-Pati.
Potensi keberadaan  fosil akan semakin diminati masyarakat luas apabila didukung dengan adanya budaya masyarakat di lokasi sekitar. Festival Patiayam berusaha memunculkan kembali budaya masyarakat lokal yang sesuai dan positif.
Selain sebagai daya tarik bagi masyarakat umum, budaya yang nantinya tergarap juga mampu berfungsi sebagai media pemersatu masyarakat sehingga menjadi guyub  (bersatu padu) untuk turut mengembangkan potensi Patiayam.
Dalam Festival Pati Ayam digelar berbagai macm kegiatan sebagai berikut :
1.   Selamatan sendang (mata air) dan pengambilan air
2.   Kirab bibit tanaman
3.   Pagelaran Wayang Dongeng
4.   Parade Puisi
5.   Pentas Rebana Tradisional dan Modern
6.   Musik Bambu dan Akustik
7.   Drama/teater (dolanan anak-anak)
8.   Pemutaran film Dokumentasi Patiayaman
9.   Pemutaran film Dokumentasi proses Festival Pati Ayam
10. Penanaman bibit
Rangkaian kegiatan Festival Pati Ayam diikuti oleh anak-anak yang berasal dari desa-desa di sekitar situs Patiayam. Festival ini juga melibatkan pelaku kesenian di Kudus (teater, musik, rupa, tari)  dan unsur masyarakat lokal yang tergabung dalam wadah Paguyuban Pelestari Situs Pati Ayam.

TRADISI BULUSAN DI KUDUS


 
Mbah Dado seorang alim ulama penyebar agama Islam. Beliau mempunyai murid bernama Umara dan Umari. Dalam perjalanannya menyebarkan agama Islam beliau berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka ditemukanlah tempat yang tepat untuk membangun pesantren tersebut, yaitu di kaki Gunung Muria.

Pada bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Qur'an datang Sunan Muria untuk bersilaturrahmi dan membaca Al Qur'an bersama Mbah Dado, sahabatnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria mendengar orang bekerja di sawah pada malam hari sedang ndaut (mangambil bibit padi). Suna Muria berhenti sejenak dan berkata, "Lho, malam Nuzulul Qur'an kok tidak baca Al Qur'an, malah di sawah berendam air seperti bulus saja?" Akibat perkataan itu Umara dan Umari seketika menjadi bulus (kura-kura air tawar).

Datang Mbah Dado untuk memintakan maaf atas kesalahan santrinya kepada Suna Muria. Akan tetapi, ibarat nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dapat kembali lagi. Akhirnya, Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah, keluar mata air atau sumber sehingga diberilah tempat itu nama Desa Sumber dan tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon tamba ati.

Sambil meninggalkan tempat itu Sunan Muria berkata, "Besok anak cucu kalian akan menghormatimu setiap satu minggu setelah hari raya bulan Syawal tepatnya waktu Bada Kupat. sampai sekarang setiap bada kupat tempat tesebut ramai dikunjungi orang untuk berziarah dan juga melihat bulus.
Tradisi ini sekarang masih ada san terkenal dengan nama Bulusan.