Dia
berjalan begitu cepat, ketika ditanya “ada apa denganmu?” dia malah balik
bertanya “eh? Memangnya aku kenapa?”. Wajahnya terlihat pucat, kakinya gemetar,
keringat mengucur deras dari wajahnya, tapi… dia tersenyum lebar. Lebih
tepatnya berusaha tersenyum agar dia tak perlu menjawab pertanyaan yang tak
bisa ia jawab.
“aku
sedang lapar, kau mau menemaniku kan? Di sana.” Pandangan matanya tertuju pada
sebuah warung makan sederhana di seberang jalan.
“Ah
anu, aku baru saja selesai makan di sana. Maaf ya.” Jawabnya. Dia berusaha
menolak tapi gaya tarik eksternal yang mengenainya lebih kuat dari gaya dorong hatinya
sehingga resultan gaya yang ia peroleh mengarah pada warung makan sederhana itu.
Dia
baru saja ingin mengambil segelas air putih untuk membasahi tenggorokannya yang
kering kerontang ketika seorang laki-laki menepuk bahunya. “Hai, kalian Cuma berdua?”
dia pun mengangguk. “Kalau begitu duduk saja di sini, makanlah semeja dengan
kami.”
Wajahnya
kembali memucat, kepalanya menunjukkan sedikit gerakan menggeleng, dan tanpa
permisi dia langsung pergi mencari tempat duduk yang lain.
“Kamu
kenapa lagi?” pertanyaan itu muncul kembali.
“Sepertinya
aku kurang enak badan,” jawabnya lemah.
“Baiklah
kalau begitu cepat habiskan makananmu lalu kita pulang ke rumah.” Dia pun
mengangguk lemah.
Lima
menit, sepuluh menit, lima belas menit…
“Kamu
tunggu apa lagi? Ayo kita pulang.”
“Aku
tidak mengerti bagaimana caranya pulang ke rumah” keningnya berkerut. Merasa konyol
dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. Setelah sepuluh menit
berlalu, dia memutuskan untuk pulang. Tapi lagi-lagi wajahnya memucat. Dengan
ragu dia berjalan menuju pintu keluar. Tiba-tiba membran timpaninya menerima
sebuah gelombang suara dan otaknya secara otomatis menerjemahkan.
“Kalian
mau pulang? Hati-hati ya…”
Dia pun
tersenyum, wajahnya berseri-seri. Tidak salah lagi, Oksitosin!
-THE-END!-