Thursday, January 19, 2012

USUS HALUS


Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung. Fungsi usus halus adalah mencerna makanan dan mengabsorpsi sari makanan.
Usus halus merupakan saluran berkelok-kelok yang panjangnya sekitar 6–8 meter, lebar 25 mm dengan banyak lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan makanan.
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian seperti berikut:
a.       duodenum (usus 12 jari), panjangnya ± 25 cm,
b.      jejunum (usus kosong), panjangnya ± 7 m,
c.       ileum (usus penyerapan), panjangnya ± 1 m.
Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus halus.

Histologi
Lapisan-lapisan penyusun dinding usus halus mulai dari dalam ke luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa.
Tunika mukosa terdiri atas epitel, berbagai kelenjar dan jaringan penunjang. Pencernaan di usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili. Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri khas usus halus. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus sehingga penyerapan lebih efisien.
Tunika muskularis terdiri atas lapisan luar yang mempunyai serabut otot longitudinal dan lapisan dalam yang mempunyai serabut otot halus berbentuk sirkuler.
Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa terdiri atas lapis mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya.
            Pada dinding usus halus banyak terdapat kelenjar yang mampu menghasilkan getah usus. Setiap hari, usus halus mensekresikan lebih kurang 2000 cc getah usus dari sel-sel usus (kelenjar lieberkuhn) menuju lumen usus. Getah usus mengandung enzim-enzim seperti berikut.
1.      Sukrase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
2.      Maltase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan maltosa menjadi dua molekul glukosa.
3.      Laktase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
4.      Enzim peptidase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan peptida menjadi asam amino.
5.      Erepsinogen, merupakan proenzim yang diaktifkan oleh enterokinase menjadi erepsin yang mengubah pepton menjadi asam amino.
6.      Enterokinase, merupakan enzim yang mengaktifkan tripsinogen menjadi tripsin dan erepsinogen menjadi erepsin.

Proses Penyerapan
Penyerapan sari-sari makanan kedalam dinding usus melalui berbagai cara, yaitu secara : difusi, osmosis, difusi difasilitas, endositosis, dan transport aktif.
Proses penyerapan di usus halus ini dilakukan oleh villi (jonjot-jonjot usus). Di dalam villi ini terdapat pembuluh darah, pembuluh kil (limfa), dan sel goblet. Di sini asam amino dan glukosa diserap dan diangkut oleh darah menuju hati melalui sistem vena porta hepatikus, sedangkan asam lemak bereaksi terlebih dahulu dengan garam empedu membentuk emulsi lemak. Emulsi lemak bersama gliserol diserap ke dalam villi. Selanjutnya di dalam villi, asam lemak dilepaskan, kemudian asam lemak mengikat gliserin dan membentuk lemak kembali. Lemak yang terbentuk masuk ke tengah villi, yaitu ke dalam pembuluh kil (limfa).
Melalui pembuluh kil, emulsi lemak menuju vena sedangkan garam empedu masuk ke dalam darah menuju hati dan dibentuk lagi menjadi empedu. Bahan-bahan yang tidak dapat diserap di usus halus akan didorong menuju usus besar (kolon).

Struktur Usus Halus

Wednesday, January 11, 2012

Dear You,


Kenyataan belum juga berdamai. Sudah siapkah kita melawan arusnya? Cinta dan rindu yang meregang pengakuan juga pengingkaran. Kita tidak sedang mengawalinya karena kita tidak pernah mengakhirinya. Apa yang sebenarnya kita inginkan sekarang?
Kapal telah berlayar. Dan kita adalah sepasang penumpang yang terombang-ambing di pusaran gelombang.
Bersambung. Inikah episode yang kita inginkan?
Cerita cinta yang berulang tanpa pengakhiran.
Entah! Mari kita merintih bersama.


Dikutip dari "Dear You"-Moammar emka

SEBUAH HARAPAN


Pagi ini Sang Surya datang lebih awal dari biasanya. Hal ini ditandai dengan Adzan Subuh yang berkumandang lebih pagi dari pagi-pagi sebelumnya. Tiara Dewanti pun terpaksa bangun dan mengawali  harinya juga lebih pagi dari biasanya. Hal yang pertama ia lakukan setelah bangun ialah pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi. Setelah selesai, barulah ia menjalankan kewajibannya menunaikan shalat Subuh.
Kini waktu telah menunjukkan tepat pukul 05.00 pagi. Ara –panggilan akrab Tiara- bergegas menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya, mulai dari menyapu, mengepel, sampai membuatkan teh untuk ayahnya. Semua itu dikerjakan Ara dengan cepat dan tidak bertele-tele. Setengah jam cepat sekali berlalu. Sekarang semua pekerjaan Ara telah selesai, tinggal bersiap-siap untuk mandi dan sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarganya.
Hari kedua Ara di kelas XI ini kak Vita, kakak Ara tidak ada di rumah karena sedang kuliah di Jakarta. Suasana rumah Ara pun tidak seramai biasanya. Hanya ada suara Linda -adik Ara-, kedua orang tua Ara, dan tentunya Ara sendiri.  Meskipun begitu, kehangatan dalam keluarga ini tak berkurang sedikitpun.
“Ibu, Ayah, Ara berangkat ya. Assalamualaikum.” Pamit Ara pada kedua orang tuanya. Seperti biasa, Ara berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena sekolahnya berada tak jauh dari rumahnya. Dengan berjalan kaki saja, Ara bisa sampai ke sekolahnya dalam waktu lima menit. Ara tak bisa membayangkan begitu singkatnya waktu yang ia butuhkan kalau ia memutuskan berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor maticnya.
Hamparan sampah yang berserakan di pinggir jalan, sungai yang sepertinya tidak cocok disebut sungai karena jarang ada airnya, dan pohon-pohon kecil yang tidak indah sama sekali karena daunnya layu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Ara. Hari ini nampaknya Ara berjalan lebih cepat dari biasanya. Buktinya kurang dari lima menit Ara telah sampai di SMA 1 Kudus, sekolahnya tercinta. Saat sedang asyik berjalan menuju ruang kelasnya, tiba-tiba Ara mendengar ada seseorang memanggilnya.
“Ara…. Ara…. Sini dong !” kedengarannya suara itu sudah tak asing lagi bagi Ara. Ternyata benar. Suara baritone itu keluar dari mulut seorang cowok bertubuh jangkung dengan kulit berwarna kuning langsat yang sejak lahir telah menyandang nama Aprilino Fernando.
“Apa?” tanya Ara datar.
“Dicari Tio.” Jawab Lino –panggilan akrab Aprilino-. Ia terkekeh.
Ara meraskan wajahnya memanas.“Diam Kamu !” bentaknya. Sejurus kemudian Ara langsung meninggalkan sahabatnya yang tengah melongo.
Sial !!! pekik Ara dalam hati. Lagi-lagi ia merasa diingatkan pada sosok Tio Dharma Wijaya yang super kejam itu. Ara akhir-akhir ini memang mudah sekali sensitif jika ada orang membicarakan masa lalunya, TIO ! Menurutnya, membicarakan Tio berarti membuka kembali luka lama yang sebenarnya baru benar-benar sembuh seminggu yang lalu. 
“Ra, Kamu tuh kenapa sih?” Ara sontak terkaget setelah menyadari Lino telah berada tepat di belakangnya.Tanpa menghentikan langkahnya, Ara menatap lekat mata coklat Lino. “Kamu tuh yang  kenapa.”
“Lho gimana sih. Yang tiba-tiba marah kan Kamu.” Jawab Lino. Ia benar-benar bingung dengan sikap Ara pagi ini. Jarang sekali ia marah jika disinggung tentang Tio.
Satu, dua, tiga, empat, lima…. Tak terdengar sepatah kata pun dari mulut Ara. Lino yang sedari tadi hanya diam sambil menatap wajah manis Ara itu pun akhirnya meraih tangan Ara dan memaksa Ara menghentikan langkah kakinya. Ara memang menghentikan langkah kakinya. Namun ia tetap bergeming, diam tanpa kata.
“ARA !!” bentak Lino. Lama-lama kesabarannya pun mulai terkikis.
Semula Ara berniat untuk mengacuhkan bentakan Lino. Sejenak ia pandang wajah Lino dalam-dalam. Tak lama kemudian pikirannya telah melayang ke mana-mana. Aku nggak nyangka ternyata Lino keren juga !!! matanya indah banget, sumpah !!! seulas senyum terlihat di bibir Ara. Tak lama kemudian Ara pun tersadar setelah berpikiran macam-macam pada Lino. Ihh apa-apaan sih !!! pekiknya dalam hati. Ia terus merutuki diri sendiri karena telah berpikiran macam-macam pada Lino. Ia pun mulai merasakan ada rona merah menghiasi pipinya yang chubby. Segera ia palingkan wajahnya dengan maksud agar Lino tidak melihat rona merah di pipinya itu.
“Lepasin !!!” kata Ara dengan nada agak tinggi, dan masih dengan posisi wajah yang membelakangi Lino, serta tangan kanannya yang masih ada dalam cekalan lembut tangan Lino.
“Jelasin dulu dong….” Kata Lino. Namun sepertinya ia belum menyelesaikan kalimatnya. Lino bermaksud ingin melanjutkan kalimatnya dengan membisikkan kata demi kata di telinga Ara. Meskipun Ara tidak bisa melihat Lino. Ia masih bisa merasakan jarak antara dirinya dan Lino semakin berkurang, berkurang, dan berkurang. Kini ia benar-benar merasakan hangatnya nafas Lino di telinga kanannya.
Sungguh ! Ara benar-benar tidak merasakan apa-apa saat ini. Padahal saat ini ia dan Lino hanya dipisahkan pada jarak yang tak lebih dari lima senti. Sampai pada akhirnya Lino membisikkan sepatah kata tepat di telinga Ara. Hanya satu kata. Namun cukup untuk membuat Ara tersentak.
“Sayang?” tanya Ara. Ia mengernyit. Lino hanya membalasnya dengan anggukan kecil yang sepertinya terlihat sangat tulus.
Setengah emosi Ara membalas anggukan Lino. “Sayang, sayang. Pala Lo peyang? Hah?”
“Iya, iya sorry deh.” Jawab Lino lemas. Ia pun melepas cekalan tangannya pada Ara.
“Udah ah. Aku cabut dulu ya ke kelas. Ntar deh pas istirahat pertama Aku jelasin.”
“Oke bos.”`
***
Saat istirahat pertama….
“Jadi gini nih Lin ceritanya. Liburan kemarin, si Mona temen SMP Aku, Kamu inget kan? Nah, dia cerita ke Aku banyak banget soal Tio.Ternyata, malam sebelum Aku mutusin Tio, si Mona tuh SMS Tio. Yah intinya nesehatin Tio lah. Tapi, Kamu tau responnya?” Ara meghentikan sejenak kata-katanya untuk menyeruput es kelapa muda kesukaannya.
“Kamu tau responnya? Nyebelin banget tau. Dia bilang, dia udah nggak punya feel lagi sama Aku. Dan dia udah nggak mau ambil pusing lagi sama Aku. Yieekkh, nggak inget apa dulu Aku minta putus aja susahnya minta ampun. Sebel deh ah !!! Sejak tau masalah itu Aku nggak mau berurusan lagi sama dia !!!” lanjutnya dengan penuh amarah.
Lino menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya lagi. “Udah udah, lupain aja dia. Lagian Kamu bego banget sih. Kamu….”
“Iya, Aku emang bego. Aku tau kok.” Potong Ara dengan nada rendah. Ara hampir saja meneteskan air matanya. Namun, lagi-lagi ia dibuat kaget oleh Lino dengan pelukannya. Kok Aku jadi deg-degan gini ya? Tanya Ara pada dirinya sendiri.
Sambil mengelus rambut Ara yang panjangnya sebahu itu dengan lembut, Lino mencoba menghibur Ara. “Maafe yo Ra. Kue ora bodho kok. Kamu nggak bego. Aku bercanda. Tio yang bego.” Ucap Lino dengan bahasa Jawanya yang masih kacau.
Sebenarnya Ara merasa nyaman berada dalam pelukan Lino. Tapi ia sadar tak seharusnya ia melakukan hal ini di kantin. Ia tau orang-orang pasti akan berpikiran macam-macam padanya. Segera Ara melepaskan diri dari pelukan Lino, bangkit, dan keluar dari kantin. Tentunya setelah membayar minuman yang telah ia pesan tadi. Sementara Ara terus berjalan selangkah demi selangkah meninggalkannya, Lino malah tetap bergeming. Ia memang sengaja membiarkan Ara pergi.
Lino merasa dirinya sudah bertindak terlalu jauh sebagai sahabat Ara. Ia terus memaki dirinya sendiri. Ia sangat menyesal karena telah gagal mengontrol dirinya sendiri. Bego ! Bego ! Bego ! pekiknya dalam hati. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri tak akan mengulangi perbuatannya itu pada Ara. Ia khawatir Ara akan merasa risih padanya dan kemudian menjauhi dirinya.
***
Seminggu telah berlalu, dan kekhawatiran Lino kini benar-benar terjadi. Sejak kejadian di kantin itu Ara tak pernah mememui Lino lagi untuk sekedar curhat padanya. Malahan Ara terkesan menghindar dari Lino. Buktinya, saat Lino berkunjung ke kelas Ara, Ara selalu absen. Maksudnya, Ara selalu berada di luar kelas selama istirahat. Entah di masjid, di perpustakaan, di kantin atas, kantin bawah, koperasi pelajar, ataupun toilet. Selain itu, Ara juga meminta teman-temannya merahasiakan di mana keberadaannya.
Kali ini Lino benar-benar tak mampu lagi menahan rasa rindunya pada Ara. Ia ingin sekali bertemu dengan Ara dan mengobrol berdua seperti biasanya. Ia pun memutuskan akan berkunjung ke rumah Ara setelah pulang sekolah. Ia tak peduli jika nantinya Ara akan bersikap dingin padanya. Asal ia bisa mengobrol berdua dengan Ara itu sudah cukup baginya.
Kini saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaringnya. Semula Lino ingin mampir ke kelas Ara terlebih dahulu. Tapi pada akhirnya ia mengurungkan niatnya itu. Ia merasa tak perlu mampir ke kelas Ara. Toh nantinya Aku juga akan bertemu Ara di rumahnya, pikirnya.
“Assalamualaikum…” ucap Lino sopan.
Tak lama kemudian muncul seorang wanita paruh baya yang tentunya sudah tak asing lagi bagi Lino. “Waalaikumsalam. Eh, Lino. Ana apa Lin?” tanya wanita itu dengan bahasa Jawa yang terdengar sangat luwes.
“Anu, Ara sampun rawuh?” tanya Lino dengan pedenya. Wanita paruh baya yang juga merupakan ibu Ara itu hanya tersenyum geli mendengar jawaban Lino. Karena merasa ada yang salah, Lino pun mengulangi pertanyaannya dengan bahasa Indonesia. “Maksud Saya, Ara nya sudah pulang belum Bu?”
Wanita paruh baya itu kini menyunggingkan senyum lagi.“Wah, belum tuh. Masuk dulu Nak. Paling-paling sebentar lagi dia juga pulang.”
“Terimakasih Bu. Saya tunggu Ara di teras saja.”
“Oh begitu. Yasudah Ibu tinggal dulu ya Nak.”
Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit… Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba di rumahnya. Namun sepertinya Ara tidak sendiri. Ia pulang diantar, TIO !  Lino kaget bukan kepalang melihat Ara pulang diantar Tio. Sebenarnya dia bukan kaget, namun lebih tepatnya kecewa. Ah Aku nih ada-ada aja, gumam Lino pelan. Lino pun memberanikan diri menghampiri Ara dan Tio yang masih berada di depan gerbang.
“Hey Ra, hey Bro.” Sapa Lino. Ia berusaha bersikap setenang mungkin.
Ara menatap Lino dengan alis menyatu. Ia heran, begitu pula Tio. “Kok Kamu disini sih?” Belum sempat Lino membalas ucapan Ara, Tio lebih dulu memotongnya.
“Eh, sorry banget ya Ra Aku nggak bisa nemenin kalian ngobrol. Aku buru-buru. Pamitin ortu Kamu ya.” Potong Tio. Sejenak ia melirik ke arah Lino. “Aku cabut dulu ya Bro.” ucapnya dingin. Tak lama kemudian tubuh cowok berkacamata ini langsung tak terlihat lagi.
“Eh Kamu tuh belum jawab pertanyaanku tau !!” kata Ara memecah keheningan.
“Pelit banget sih Kamu. Aku kan cuma mau main aja. Yaudah mendingan Aku pulang aja deh.” Goda Lino.
“Eh jangan dong. Ntar Aku ngomong apa ke ibu. Tau-tau Aku pulang, dan Kamu udah nggak ada. Kamu kan biasanya kalo main lamaaaaaaa banget. Bisa-bisa ibu mikir Aku udah ngusir Kamu, maki-maki Kamu, dan ngedepak Kamu dari rumah ini.” Cerocos Ara. Lino menyeringai geli.
“Iya iya. Kamu tuh manis juga ya kalo diliat-liat.” Kata Lino spontan. Mendengar ucapan Lino, Ara pun tersentak. Namun bukan hanya Ara yang tersentak. Lino pun juga ikut tersentak setelah menyadari ucapannya sendiri. Cepat-cepat ia meralat ucapannya tadi. “Eh, bercanda.”
Terlihat sekali raut kaget yang tak lama kemudian berganti dengan raut kecewa di wajah Ara. “Yaudah sini masuk.”
Di ruang tamu, Ara dan Lino membicarakan banyak hal. Termasuk tentang hubungan Ara dengan Tio sekarang. Terbesit rasa kecewa dari dalam hati Lino ketika ia mengetahui Ara kembali dekat dengan Tio. Tapi ia merasa bukan siapa-siapa bagi Ara. Ia pun menekan rasa kecewanya itu dalam-dalam.
Dua jam telah berlalu. Setelah menumpang shalat Ashar Lino pun berpamitan pada kedua orang tua Ara. Saat di perjalanan pulang, tak jauh dari rumah Ara, Lino melihat Tio menggandeng seorang cewek dan memasuki sebuah toko. Ia mencoba mengingat-ingat kembali siapa cewek itu. Dan akhirnya, Ting !!! muncul sebuah lampu yang sedang menyala terang di atas kepala Lino. Dea ! Pekiknya. Segera ia menelepon Ara dan meminta Ara untuk datang ke tempat itu. Tak lama kemudian Ara datang dengan mengendarai motor matic kesayangannya.
“Kamu ngapain nyuruh Aku ke sini? Kamu nggak kenapa-napa kan?” tanya Ara panik.
“Yuk cabut ke toko itu.” kata Lino. Ia sama sekali tidak merespon pertanyaan Ara.
Sejenak kening Ara mengkerut, namun tak lama kemudian kembali rileks. “Kamu gimana sih. Ogah ah. Aku balik. Aku kira Kamu kenapa-napa.”
“Kamu takut ya Aku kenapa-napa?” Tanya Lino dengan ekspresi menggoda.
“Ya…. iyalah.” Ara kini mulai terlihat gugup. Hal ini membuat Lino semakin ingin menggoda Ara. “Trus?” Tanya Lino. Ia tertawa geli melihat kegugupan Ara.
“Udah deh ah. Kamu kan emang temen Aku. Jadi wajar dong kalo Aku takut Kamu kenapa-napa.” Jawab Ara. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Belum sempat masuk ke toko yang mereka tuju, Tio dan Dea lebih dulu keluar dari toko itu. Untung saja Lino bertindak cepat. Lino menarik tangan Ara dan kemudian bersembunyi di balik pohon. Mereka mengamati setiap gerak-gerik Tio dan Dea. Tio dan Dea terlihat sangat mesra. Sepertinya setiap orang yang melihat mereka pasti akan merasa iri. Tangan kanan Tio merangkul bahu Dea sambil sesekali mengelus rambut Dea yang hitam panjang itu. Bukan hanya itu, Tio juga sesekali mencium tangan dan kening Dea.
Ara tersenyum kecut melihat tingkah laku Tio dan Dea. Ia berusaha menahan tangisnya. Hatinya kini benar-benar hancur. Ia menyesal telah memaafkan Tio. Ia menyesal telah mempercayai Tio lagi. Ia menyesal telah membiarkan Tio kembali melukai hatinya lagi. Ia menyesal telah jatuh cinta pada Tio. Ia menyesal telah mengenal Tio. Hanya penyesalan yang menyelimuti dirinya saat ini.
“Mereka balikan ya Lin?” Tanya Ara pelan.
“Udah, nggak usah dipikir. Yang penting Kamu tau. Kita pulang yuk.” Ajak Lino. Dan mereka pun kembali ke rumah Ara.
Setibanya di rumah Ara, Lino hanya mengantarkan Ara sampai ke teras. Sebenarnya ia masih ingin bersama Ara. Ia ingin menghibur Ara. Ia tak ingin sahabatnya terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Ia ingin sekali memeluk Ara. Tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan melakukan hal itu lagi pada Ara. Setelah sampai di teras, Lino pun segera berbalik.
“Lin.” ucap Ara pelan. Benar-benar pelan sampai Lino pun tak bisa mendengar. “Lino !” Ara mengulang lagi ucapannya dengan nada lebih tinggi.
Lino menoleh. “Apa?”
“Aku butuh sandaran. Kamu nggak mau peluk Aku lagi?” Jawab Ara. Mendengar jawaban Ara, mata Lino langsung terbelalak. Alisnya yang tidak terlalu tebal naik beberapa mili.  
“Aku, peluk, Kamu?” Tanya Lino meyakinkan. Ara hanya menjawab dengan senyuman manis dan anggukan kecil. Tanpa basa-basi Lino pun memeluk erat tubuh Ara. Saat memeluk Ara, Lino merasakan sesuatu yang aneh terjadi padanya.
Sekali lagi alis tebal Ara terlihat menyatu.  “Lin, kok Kamu deg-degan gini sih?” Lino bingung. Ia tak tau harus menjawab apa. Setelah berpikir cukup lama, ia pun memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Ara.
“Aku juga bingung Ra. Setiap Aku ketemu Kamu tuh bawaannya deg-degan terus. Nah, giliran setiap Aku nggak ketemu Kamu, bawaannya tuh pengeeeen banget nemuin Kamu. “ Jawab Lino jujur.
“Tunggu, tunggu. Kamu suka sama Aku?” Tanya Ara dengan polosnya.
“Iya kali ya.” Jawab Lino. “Trus?” lanjutnya.
“Trus apanya?”
“Aku boleh nggak gantiin posisi Tio di hati Kamu? Maksudnya, Kamu mau nggak anggep Aku ini layaknya Tio?” Tanya Lino dengan ekspesi duarius –serius sekali-.
“Gimana yaaaaaa….” Goda Ara. “Mmmm…. Iya deh.”
“Bener nih? Yaudah sekalian aja Aku jadi cowok Kamu, gimana?”
“Ihh, Kamu tuh ya pake nanya segala. Ya pasti Aku mau lah.”
Lino benar-benar kaget mendengar ucapan Ara. Wajahnya yang kusam karena belum mandi kini terlihat segar dan berseri-seri lagi. “Asal Kamu tau, udah lama Aku suka sama Kamu. Tapi Aku menghargai Kamu sebagai sahabatku. Jadi Aku nggak pernah berani macem-macem sama Kamu.” Jelas Lino.
“Emangnya Kamu aja. Meskipun Aku selalu bilang ke Kamu bahwa hati Aku ini udah dipenuhi Tio, tapi Aku ngerasain yang sebaliknya. Aku emang takut kehilangan Tio, tapi Aku lebih takut lagi kalo kehilangan Kamu. Awalnya sih Aku pikir karena Kamu sahabatku. Jadi Aku nggak pernah mau ambil pusing soal perasaanku ke Kamu. Tapi akhir-akhir ini Aku ngerasa bukan itu alasannya. Dan Aku baru yakin lima menit yang lalu kalo Aku juga suka sama Kamu.” Jelas Ara panjang lebar.
Ara memang tak mendengar Lino mengucapkan sepatah kata pun padanya. Tapi Ara masih bisa merasakan Lino mempererat pelukannya. Ara berharap, pelukan ini akan ia rasakan besok, besoknya,  besoknya lagi, dan besoknya lagi, sampai selamanya. Setidaknya hanya itu harapan Ara saat ini.
“Jangan pernah tinggalin Aku ya Ra.” Ucap Lino pelan.

Thursday, December 22, 2011

Singapore History


Founded as a British trading settlement in 1819, Singapore attained independence only in 1965. Yet its history stretches as far back as the second century AD when it first appeared in the renowned Greek polymath Ptolemy’s seminal map, Geographia.
Over the next millennia, its fortunes were tied to the neighbouring Hindu kingdoms of Sumatra and Java. But hardly anything was written about this island then and it only “re-emerged” in the 14th century under the name Temasek, or Sea Town. This new identity soon changed when a Sumatran king, Sang Nila Utama, spotted what he thought was a lion on Temasek’s shores and duly christened it “Singapura.” (In Sanskrit “Singa” means lion and “Pura” means city)
By the early 19th century, the British were looking for a trading settlement in the region to counterbalance the influence of the Dutch, and under the stewardship of Sir Stamford Raffles, a reputable colonial administrator, they formally set up one on Singapore’s shores on 6 February 1819. Raffles established a free port and soon the new colony attracted merchants from all over Asia, the Middle East and Europe. Within five years the population grew from 150 to 10.000, consisting mainly of Chinese, Malays and Indians – which continue to be the three main ethnic groups in Singapore today.
When the Suez Canal opened in 1869, trade increased substantially between Singapore and the West, making the island very prosperous.
This prosperity rose unchecked until the Second World War when, in 1942, Singapore fell to the Japanese. After three years of occupation, stirrings of nationalism rose and the cries for independence from Great Britain grew louder. Singapore obtained self-government in 1959 before forming a union with Malaya to form Malaysia in 1963. However this lasted a mere two years as, on 9 August, 1965, Singapor left Malaysia to become a fully independent nation. In the years since, Singapore has gone from a rural –and manufacturing- based economy to a knowledge- based first world economy. Today, it constantly ranks among the world’s most liveable cities, with people from across the world attracted to the wonderful contrast between the modern dynamic metropolis and the legacies of history all around them.